Sirik untuk orang Sulawesi Selatan, tidak ada tujuan atau alasan hidup yang tinggi atau lebih penting dari pada menjaga siriknya, dan kalau mereka merasa tersinggung atau ripakasirik atau dipermalukan, mereka lebih senang mati dengan perkelahian untuk memulihkan sirik dari pada hidup tanpa sirik. Meninggal karena sirik dikatakan mate rigollai, mate risantangi, artinya mati diberi gula dan diberi santan, sama artinya dengan manis dan gurih atau mati untuk sesuatu yang berguna. Sebaliknya, hanya memarahi dengan kata-kata seorang bukan karena sirik tetapi dengan alasan lain, dianggap hina.
Begitu pula lebih-lebih dianggap hina melakukan kekerasan terhadap orang lain hanya dengan alasan politik atau kepentingan ekonomi, atau dengan kata lain semua alasan perkelahian selain dari sirik dianggap semacam kotoran jiwa yang dapat menghilangkan kesaktian. Tetapi kita harus mengerti bahwa sirik itu tidak hanya bersifat menerima saja, tetapi juga merupakan perasaan halus dan suci.
Seorang yang tidak mendengar orangtuanya, kurang siriknya. Seorang yang suka mencuri atau yang tidak beragama atau yang tidak bersifat suci atau yang tidak tahu sopan santun, semuanya itu kurang siriknya. Prof Andi Zainal menjelaskan lebih jauh bahwa sirik adalah identik dengan manusia, yang berarti harkat dan martabat manusia. Kalau harkat dan martabat itu dinodai maka timbullah perasaan aib pada orang yang dihina itu. Dan reaksi yang diberikannya ialah mengambil tindakan yang setimpal terhadap orang yang menghina, dengan maksud mengembalikan siriknya agar bisa menjadi manusia kembali.
Perasaan terhina dan pengambilan tindakan terhadap yang menghina itu sebenarnya oleh orang Bugis, Makassar, Mandar, Toraja, tidak lagi disebut sirik tapi sirik ripakasirik, sirik nipakasirik, atau sirik dipakasirik, yang merupakan kewajiban individual dan sosial. Bilamana keadaan atau kesalahan sendiri yang mengakibatkan seseorang merasa aib, itulah yang disebut sirik masirik. Tindakan pemulihan sirik masirik dilakukan dengan bekerja keras tanpa kenal menyerah untuk mengubah keadaan buruk yang menimpanya akibat dari kesalahannya sendiri agar kembali menjadi baik.Merawat dan mempertahankan sirik atau martabat kemanusiaan diri merupakan karakter orang Sulsel.
Kondisi sosial ekonomi boleh belum baik, tapi martabat diri sebagai manusia, bukan binatang, jangan sampai ternoda atau terhina. Kondisi sosial ekonomi boleh jauh lebih makmur dari kebanyakan orang tapi tidak punya sirik atau martabat kemanusiaan, maka apa bedanya dengan binatang yang memiliki kekuatan, yang dengan kekuatannya itu dia bisa mencederai dan mencelakai pihak lain. Karena itu, jika sirik berubah menjadi aib akibat dari ulah dan perbuatan sendiri, maka seorang Bugis, seorang Makassar, seorang Mandar, dan seorang Toraja, menurut Prof Andi Zainal Abidin, akan mengubah sirik masiriknya itu dengan tindakan bekerja menjadi seorang manusia yang punya sirik atau harkat sebagai manusia.Alangkah indah dan mulianya budaya sirik orang Sulsel itu. Tentu, jika budaya tersebut diwujudkan di dalam setiap diri orang Sulsel, orang Sulsel akan memiliki daya bersaing yang amat kuat guna meraih kemajuannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar