Alhamdulillah, kami shalat ied di lapangan komplek BI Wisma Bidakara. Tau gak? Kk Aim & Ade Iam juga ikutan shalat (bobo di samping bunda tapi, hehehehe....)
Kami orang 'biasa', punya semangat untuk selalu belajar dan menjadi lebih baik. Busman DS & Andi Niswati dengan 2 anak; Aiman Authar Ihsani, dan Aqil Akhtar Insani. Peduli terhadap pendidikan & perkembangan anak bangsa. Kami sangat menghargai orang yang selalu berusaha menjadi lebih peduli.
Setiap orang dalam hidup kita merupakan pantulan tertentu dari diri kita.
Orang yang kita cintai mencerminkan sisi-sisi kita yang penuh cinta.
Orang yang tidak kita sukai mencerminkan bagian-bagian diri kita yang memerlukan penyembuhan.
Setiap pengalaman dalam hidup kita merupakan sebuah kesempatan untuk tumbuh, berubah, dan sembuh.
Blog ini adalah ungkapan perasaan dan pikiran kami, apa adanya 'seasli mungkin' walau sedikit 'egois'. Goresan dan gambar yang ada sekedar pengingat, pencerahan, dan perbaikan diri.
Alamat kontak kami melalui Email & YM :
busman_ds@yahoo.co.id & dinyman@yahoo.com
Puang@yahBunda...., Lagi berfose di walimahan seorang rekan
Puang@yahBunda....
Rahasia dari sebuah hubungan yang sukses bertahan dalam waktu lama adalah pembuktian 'cinta' terus menerus.
Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Selamat datang di blog ini, semoga dengan membaca isi tulisan ini, bisa menyumbangkan sedikit inspirasi para penggiat kebaikan .....
Globalisasi
Persahabatan tanpa batas
"MAPPASITARO"
Ringkasan Tesis 'Mappasitaro' Perempuan dan Perjodohan: Analisis Gender dalam Prosesi Perkawinan Adat di Kalangan Bangsawan Bugis di Sulawesi Selatan (Mahasiswa Program Pasca Sarjana 'Women Study' UI Salemba)
Penulis: Andi Niswati, M. Hum.
Prolog
Tulisan ini memaparkan sebuah hasil penelitian tentang bentuk ketidak adilan jender yang tersistematisasi dalam sosialisasi anak pada keluarga dalam dominasi budaya patriarki. Sosialisasi itu menggiring anak perempuan dalam ketidakberdayaan menerima perlakuan tidak adil baik di rumah orang tuanya maupun di rumah tangganya sendiri. Secara teoretis penelitian ini mengungkap dan mengkaji sebuah bentuk kontrol dan dampak dari pengaruh budaya patriarki terhadap penerapan budaya perjodohan dalam masyarakat patriarkal. Secara praktis telah menyingkap tabir yang menyelimuti kehidupan anak perempuan dalam menjalani kehidupan berumah tangga dari pernikahan yang dijodohkan. Masalah perjodohan ini dianggap penting untuk dikaji lebih mendalam dan tentunya akan terungkap secara jelas bila didekati dengan pengkajian secara kualitatif, menggunakan teori-teori yang berpespektif perempuan dengan perangkat analisis gender dalam mengkaji permasalahan. Selain itu, penelitian ini kemudian menjadi penting karena masih terbatasnya penelitian yang mengkaji budaya dan struktur sosial dalam masyarakat patriarkal yang dikaitkan dengan masalah perjodohan. Subjek penelitian ini terdiri dari dua jenis. Pertama, informan utama yaitu orang yang memenuhi kriteria sebagai perempuan bangsawan Bugis yang sudah menikah dan di-pasitaro oleh orang tua dan kerabat. Informan utama penelitian ini berjumlah dua belas orang yang terdiri atas empat kategori kasus (lihat tabel 1 pada lampiran). Kedua, informan pendukung adalah tokoh budaya, orang tua, dan kerabat informan. Informan pendukung penelitian ini berjumlah lima orang yang terdiri atas; dua orang tokoh budaya, dua orang kerabat dekat informan utama kasus bunuh diri, dan satu orang sebagai orang tua salah seorang informan utama kasus cerai. Ada tiga permasalahan yang akan dijelaskan. Pertama, mengungkap faktor yang mendorong pemberlakuan perjodohan dan mengapa masih dipertahankan pada golongan bangsawan Bugis dilakukan terlebih dahulu untuk mengetahui bagaimana budaya itu memposisikan anak perempuan. Kedua, melalui uraian kronologis perkawinan yang dilakukan secara adat dapat diungkap bagaimana peran orang tua, kerabat, dan anak perempuan dilibatkan dalam budaya perjodohan, karena pada kenyatannya anak perempuan yang menjalani rumah tangga dari perkawinan yang dijodohkan, mengalami banyak masalah dan pada umumnya perkawinan itu menjadi tidak langgeng. Ketiga, pemaparan tentang penuturan pengalaman anak perempuan yang pernah/sedang menjalani rumah tangga dari pernikahan yang jodohkan, sehingga terungkap dampak perjodohan pada anak perempuan bangsawan Bugis.
A. Sekelumit tentang Perempuan dan Perjodohan di Berbagai Tempat Pemilihan jodoh merupakan salah satu unsur yang menentukan kelanggengan suatu perkawinan. Namun, sampai saat ini masih sering dilakukan perkawinan secara paksa karena orang tua dan kerabat masih lebih mengutamakan derajat sosial dan ekonomis keluarga, daripada kebahagiaan dan kelanggengan rumah tangga anak. Banyak anak perempuan mengalami penderitaan yang berkepanjangan karena terpaksa menjalani pernikahan yang tidak diinginkan. Beberapa kasus perjodohan yang terjadi di lingkup keluarga komunitas bangsawan Bugis menjadi sebuah fakta bahwa hingga di jaman modern ini budaya perjodohan masih menjadi permasalahan serius bagi anak perempuan bangsawan. Demikian pula di beberapa daerah lain di Indonesia, juga ditemukan perjodohan serupa. Pada dasarnya di setiap daerah terdapat prinsip dan aturan adat perkawinan yang berbeda, ada yang mengutamakan prinsip endogami, ada pula yang menganut prinsip eksogami. Berdasarkan prinsip tersebut, ditentukan batasan pemilihan jodoh yang juga berbeda-beda untuk mewujudkan suatu perkawinan yang diharapkan dan dianggap ideal setiap kelompok masyarakat atau disebut marriage preference. Untuk mewujudkan perkawinan ideal ini, hampir setiap daerah mempunyai kecenderungan yang sama, yaitu orang tua dan kerabat mengotrol pemilihan jodoh terutama anak perempuan. Hal ini dapat dijumpai pada masyarakat Aceh (Syamsuddin, 1997, h. 239), masyarakat Bali (Bagus, 1997, h. 286—306), dan masyarakat suku Alor Nusa Tenggara Timur (Hae, 1997, h. 57—58). Pada masyarakat Tionghoa peranakan yang ada di Indonesia juga masih ditemukan hal yang sama (Vasanty, 1997, h. 362). Demikian pula halnya pada masyarakat Jawa terutama di perdesaan (Kusujiarti, 1995 dalam Hanum, 1997, h. 20). Perjodohan yang identik dengan kawin paksa dalam masyarakat Jawa telah menggugah hati R. A. Kartini sejak dahulu. Ia telah mempertanyakan mengapa untuk anak perempuan harus orang tua atau walinya yang memilihkan suami, “seorang gadis tidak boleh mempunyai kemauan sendiri, ia selalu dipaksa”. Dalam suaratnya kepada Stella, Kartini menceritakan bahwa “… dalam masyarakat Jawa persetujuan pihak wanita tidak perlu. Ia juga tidak perlu hadir pada upacara akad nikah. Ayahku misalnya, bisa saja hari ini memberitahu padaku: ‘Kau sudah kawin dengan si Anu!’ Lalu aku harus ikut saja dengan suamiku…” (Sitisoemandari Soeroto, 1983, h. 55—56). Keadaan ini tidak hanya terjadi di zaman Kartini. Pada zaman Balai Pustaka, Siti Nurbaya pun mengalami nasib serupa dan sampai saat ini juga masih ditemukan pada masyarakat Jawa (Sobari, 2000, h. 480). Hasil penelitian Sinta Nuriyah Rahman (1998) di Sekar Arum Jawa Tengah, mengungkap bahwa dalam menentukan jodoh anak, dominasi orang tua masih sangat besar (h. 67). Perkawinan semacam itu tidak hanya terjadi di Indonesia. Pada masyarakat tradisional di negeri Cina pun kebiasaan kawin paksa masih dilakukan dengan berbagai bentuk. Misalnya, perjodohan antar bayi yang masih dalam kandungan, atau untuk mendapatkan tambahan tenaga kerja, pihak keluarga laki-laki dapat saja membeli seorang anak perempuan (Fridolin, 1997, h. 57). Demikian pula di Asia masih berlaku kawin paksa terhadap anak perempuan dalam usia belia (Saparinah Sadli, 2000, h. 4). Dua hasil penelitian terdahulu menunjukkan tingginya tingkat perjodohan anak perempuan di Sulawesi Selatan. Pada masyarakat Bugis di desa Ulaweng Cinnong Kabupaten Bone terdapat 87% wanita usia <30; 84% usia 30—44; dan 92 wanita usia 45 ke atas yang calon suaminya ditentukan oleh orang tua (Kasim dan Rachmatiah B. Idrus, 1983, h. 39). Demikian halnya pada masyarakat Bugis Sanrego Kabupaten Bone, ditemukan 86,3% perkawinan bagi perempuan merupakan urusan orang tua, kebanyakan dari strata sosial-ekonomi kaya (Aida Vitalaya S. Hubeis, 1987, h. 33—34).
B. Konsep Pemilihan Jodoh dan Undang-undang Perkawinan di Indonesia Undang-undang Perkawinan di Indonesia dalam hal ini juga memberikan konstribusi yang besar terhadap konsep perkawianan dan pemilihan jodoh yang diterapkan. Sampai saat ini faktor budaya masih kuat mempengaruhi masalah pemilihan jodoh di beberapa daerah di Indonesia. Dominasi orang tua dalam mencarikan pasangan hidup terutama untuk anak perempuan masih umum ditemukan dalam masyarakat. Hal yang lebih menarik lagi dari masalah perjodohan itu adalah usia menikah dari anak yang dijodohkan di beberapa daerah di Indonesia rata-rata termasuk belia. Kedua hal tersebut akan dibahas lebih lanjut dalam kaitannya dengan Undang-undang Perkawian. 1. Dominasi Orang Tua dan Kerabat dalam Pemilihan Jodoh Anak Perempuan Perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang akan menjalaninya tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Sebagaimana dikemukakan pada Pasal 6 ayat 1 Undang-undang Perkawinan Tahun 1974 yaitu "perkawinan harus berdasarkan persetujuan kedua calon mempelai". Berkaitan dengan itu, seharusnya tidak ada lagi pemaksaan dalam hal pemilihan jodoh dan perkawinan. Namun, kenyataannya walaupun telah ditetapkan seperti aturan di atas, tidak semua perkawinan membawa kebahagiaan bagi yang menjalaninya. Peraturan tersebut belum menjamin perempuan bebas dari pemaksaan untuk dinikahkan. Masih banyak anak perempuan yang dijodohkan menjalani rumah tangga diliputi kekerasan baik dari perlakuan keluarganya sendiri maupun dari perlakuan suaminya. Kekerasan pada pernikahan yang dijodohkan terjadi dalam berbagai bentuk, baik kekerasan fisik, ekonomi, pengabaian hak seksual, maupun tekanan secara psikologis. Hal itu membuktikan bahwa undang-undang perkawinan belum sepenuhnya melindungi perempuan dari tindakan diskriminatif dalam perkawinan yang senantiasa mengalami tindak kekerasan. Kekerasan seperti itu masih terus berlangsung karena tidak adanya hukuman atau sanksi bagi yang melanggar undang-undang perkawinan dan tidak adanya hukum yang jelas atau sanksi bagi pelaku kekerasan yang terjadi di lingkup rumah tangga. Selain itu, tidak semua masyarakat dalam melaksanakan perkawinan berdasarkan undang-undang itu, justru yang banyak dilakukan adalah perkawinan yang berdasar pada asas-asas perkawinan adat. Padahal, dalam asas-asas tersebut tampak adanya kecenderungan mengabaikan kepentingan dan hak-hak perempuan. Sebenarnya, dengan berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 diharapkan agar masyarakat adat dapat menyesuaikan hukum adatnya dengan undang-undang itu. Namun, menurut Hadikusuma (1995) sejauh mana masyarakat akan dapat menyesuaikan dirinya tergantung pada perkembangan masyarakat adat itu sendiri, dan kesadaran hukumnya (h. 72). Dengan demikian, apa yang menjadi ketetapan dalam undang-undang itu belum tentu dapat mempengaruhi cara berpikir masyarakat sehingga tidak sepenuhnya dapat dipatuhi. Salah satu contoh, aturan yang tertuang pada pasal 6 ayat 1 Undang-undang No.1 Tahun 1974 yang juga telah ditegaskan dalam Kompilasi Hukum Islam Tentang Perkawinan, pada pasal 16 bahwa: "Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai. Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pertanyaan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas" (Abdurrahman, 1992, h. 117). Namun, kenyataan menunjukkan bahwa pada prakteknya, seringkali syarat persetujuan seperti ini hanya direkayasa bahkan diabaikan sama sekali. Masyarakat umumnya masih mengacu pada asas-asas perkawinan menurut hukum adat. Perkawinan masih lebih mengutamakan aturan orang tua dan kerabat dari pada persetujuan anak yang akan menjalaninya. Bahkan, hal itu seringkali didukung dengan nilai-nilai ajaran agama yang disalahtafsirkan hanya untuk melegitimasi aturan adat itu. Untuk kaitannya dengan masalah ini, akan dibahas dalam versi agama Islam saja. Ada anggapan bahwa soal jodoh bagi anak laki-laki adalah urusan Tuhan, sedangkan bagi anak perempuan adalah urusan orang tua (ayah). Pemilihan jodoh yang ditentukan orang tua dalam Islam disebut hak ijbar 'hak orang tua untuk memaksa anak gadis atau perawan baik yang masih kecil maupun yang sudah besar untuk menikah tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu dan berhak menentukan bakal suami anak gadisnya secara sepihak'. Namun, menurut Mas'udi (1997), hak ijbar itu semestinya tidak ada karena bertentangan dengan prinsip 'kemerdekaan' yang sangat digarisbawahi oleh Islam, juga dalam hal pemilihan jodoh (h. 89). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalam hal pemilihan jodoh, Islam lebih mengutamakan pilihan yang lebih mendatangkan kebaikan bagi yang menjalaninya. Perjodohan merupakan suatu cara yang baik jika semua pihak sepakat, baik pihak yang akan menjalaninya maupun pihak orang tua. Maqsood (1999) menegaskan bahwa menurut syariat Islam seorang perempuan tidak boleh dinikahkan di luar kehendaknya (h. 366). Pernyataan itu didasari oleh sebuah hadis. Aisyah, r.a. pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. "Apakah suatu keluarga yang akan mengawinkan anak gadisnya harus minta persetujuannya terlebih dahulu. Dan beliau menjawab: "Yah, persetujuannya harus diperoleh" (Muslim). Demikian halnya yang dikemukakan Imam Nawawi bahwa: Anak wanita dan walinya sama-sama punya hak dalam hal perkawinan. Namun, hak anak lebih diutamakan daripada hak walinya. Jika walinya hendak menikahkannya dengan seorang yang berlatar belakang baik, dan anak menolak, maka ia tak dapat dipaksa; sedangkan jika ia ingin menikah dengan seseorang, dan walinya tidak setuju, maka wali tersebut harus memberi izinnya, tetapi jika bersikap keras, maka qadi berwewenang menikahkannya atas nama walinya, (Syarh Sahih Muslim, IX)
Bertolak dari beberapa pernyataan di atas, dapat dipahami bahwa pemilihan jodoh berdasarkan Islam, dikembalikan pada pihak yang akan menjalaninya bukan hak otoritas orang tua. Meskipun yang paling ideal adalah ketika pilihan anak dan orang tua bisa menyatu. Memilih calon suami atau istri tidak akan menjadi rumit bila hal itu menjadi kesepakatan bersama, tetapi dapat menjadi sulit menurut budaya masing-masing. Pernyataan itu dilandasi oleh pandangan Goode (1985) juga memberi gambaran yang sama bahwa, proses pemilihan jodoh berlangsung seperti sistem pasar, sistem itu berbeda-beda dari satu masyarakat ke masyarakat lain, tergantung pada siapa yang mengatur transaksinya, bagaimana peraturan pertukarannya, dan penilaian yang relatif mengenai berbagai macam kualitas (h. 65). Suatu hal penting yang menjadi masalah dalam prosesi ini adalah karena yang dominan dalam segala hal hanyalah orang tua dan kerabat, sementara anak sebagai pihak yang akan menjalaninya justru dikontrol sedemikian rupa untuk pasrah. T.O. Ihromi (1995) menilai sikap pasrah anak perempuan yang tidak berdaya menolak dijodohkan orang tuanya, karena "mereka tidak memiliki otonomi, dan merasa tidak otonom dalam menentukan jodoh" (h. 450). Hal itu berkaitan dengan nilai-nilai pengasuhan dalam sosialisasi keluarga yang membentuk anak, utamanya perempuan yang selalu dididik untuk patuh.
2. Usia Menikah bagi Anak Perempuan Usia menikah merupakan suatu unsur penting dalam mengkaji kasus perkawinan. Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan usia menikah di Indonesia saat ini relatif meningkat dan bervariasi, namun pernikahan usia belia masih banyak ditemukan utamanya di desa. Bogue (1969) yang dikutip Hanum (1997) mengklasifikasikan usia yang bervariasi itu menjadi 4 kategori, yaitu: pertama, child marriage 'perkawinan di bawah umur 18 tahun'. Kedua, early marriage 'perkawinan umur 18–19 tahun'. Ketiga, Marriage at maturity 'perkawinan umur 20–21 tahun', dan keempat, Late marriage 'perkawinan umur 22 tahun dan selebihnya' (h. 1). Jika menyimak persyaratan usia menikah pada Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 7 ayat 1 "Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun" (Soemiyati, 1997, h. 141). Peraturan itu secara tidak langsung dapat menjadi pembenaran untuk menikahkan anak perempuan dalam usia belia. Padahal usia yang ditetapkan itu tidak bisa dikatakan sebagai usia ideal untuk menikah, sebab remaja pada usia tersebut biasanya baru kelas tiga SLTA atau baru memasuki Perguruan Tinggi. Beberapa penelitian di daerah Jawa menunjukkan bahwa usia menikah anak laki-laki lebih tinggi daripada usia menikah anak perempuan. Data statistik BPS di Jawa Barat menunjukkan kira-kira 24% jumlah anak perempuan yang menikah pada usia di bawah 15 tahun. Kecenderungan itu terjadi karena setelah mengalami haid pertama, anak perempuan sudah dianggap siap menjalani rumah tangga. Padahal, kenyataannya banyak anak perempuan yang dinikahkan tidak lama setelah mengalami haid pertama, sehingga dari segi budaya, ia sudah dianggap dewasa karena telah menikah. Pernikahan usia belia dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti: faktor pendidikan, ekonomi, agama, adat, dan budaya. Usia menikah dan pola perkawinan satu daerah dengan daerah lain cenderung berbeda. Hal itu dipengaruhi oleh kebiasaan masyarakat yang berbeda-beda pula. Usia menikah sangat terkait dengan tinggi rendahnya tingkat pendidikan anak dan orang tua. Sebuah penelitian lain di Bali mendukung pernyataan itu bahwa perkawinan remaja usia belia berkaitan dengan rendahnya tingkat pendidkan (Hidayana, 2000, h. 319). Sementara, Hanum (1997) yang mengutip Groger & Bronars (1993) menunjukkan bahwa anak perempuan yang dinikahkan di bawah usia menikah menurut undang-undang perkawinan, 50% berasal dari anak yang putus sekolah dasar (h. 39). Hal itu menunjukkan bahwa perempuan yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah memungkinkan untuk lebih cepat dinikahkan. Perkawinan usia belia pada remaja perempuan juga didorong oleh faktor ekonomi seperti rendahnya pendapatan orang tua dan tekanan keluarga. Penelitian yang dilakukan Sinta Nuriyah Rahman (1997) di Sekar Arum menunjukkan bahwa pada keluarga ekonomi lemah, anak perempuan dari sudut gender dan ekonomi dianggap sebagai beban orang tua, sehingga lebih cepat dinikahkan untuk mengalihkan beban dan tanggung jawab itu ke pundak suaminya (h. 72). Demikian halnya, norma agama. Misalnya, norma-norma agama Islam yang sangat mengutamakan kemaslahatan bagi pemeluknya. Anak perempuan yang dianggap telah dewasa akan segera dinikahkan untuk menghindari hal-hal berbau zina atau pun hal-hal yang dapat menimbulkan aib keluarga. Perbedaan penerapan norma agama antara di desa dan di kota juga mempengaruhi perbedaan usia menikah. Usia menikah hampir seluruh perdesaan lebih muda karena tingkat pendidikan perempuan di perdesaan rendah, norma relatif ketat dijalankan, dan kontrol masyarakat menjadi tekanan sosial yang kuat (Hanum, 1997, h. 2). Adat dan budaya juga mempengaruhi pernikahan usia belia. Hal itu ditemukan pada masyarakat Sekar Arum. Ada kepercayaan bahwa bila anak gadis yang sudah nampak besar kemudian dilamar orang tapi tidak diberikan, nanti akan menjadi perawan tua (Sinta Nuriyah Rahman, 1998, h. 71). Sementara, sesuai budaya, anak perempuan sering kali dinikahkan pada usia belia karena orang tua khawatir anaknya tidak mendapatkan jodoh nantinya sehingga dianggap 'tidak laku' (h. 12). Budaya seperti itu juga dikenal di Sulawesi Selatan, terdapat suatu keyakinan bahwa anak perempuan yang sudah tiga kali dilamar lantas tidak diterima, akan menjadi ana' dara toa atau nasorosi pasa' 'perempuan tidak menikah atau tidak laku'. Padahal, dalam masyarakat Bugis, "hanya manusia yang sudah menikah yang dipandang manusia sempurna dan utuh". Berikut ini dikemukakan beberapa konsep teori yang digunakan untuk mengkaji masalah perjodohan yang diterapkan pada umumnya dan khususnya di kalangan bangsawan Bugis di Sulawesi Selatan.
C. Budaya Patriarki dan Bias Gender dalam Keluarga Budaya patriarki merupakan sistem yang berlaku dalam masyarakat dan keluarga yang menempatkan laki-laki dalam hal ini bapak/suami sebagai pemegang kekuasaan, penentu segala kebijakan dan keputusan dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Patriarki merupakan alat dan sistem yang digunakan laki-laki untuk menguasai perempuan dalam berbagai bentuk sehingga, dalam mengkaji permasalahan perempuan, patriarki akan selalu terkait di dalamnya. T.O. Ihromi (2000) yang mengutip Tuttle (1984) sependapat dalam hal itu bahwa dalam masyarakat manapun yang memiliki sistem sosial, laki-laki menempatkan perempuan dalam posisi yang subordinat. Kalaupun ada perbedaan derajat subordinat bagi perempuan yang memiliki hak istimewa atau kekuasaan tertentu, biasanya hanya bersifat simbolis (h. 208). Hal ini sangat erat kaitannya dengan masalah gender. Chodorow (1978) mengartikan gender sebagai: "a set of arrangements by which the biological raw material of human sex and procreation is shaped by human, social intervention and satisfied in a conventional manner…." (h. 8) [seperangkat aturan dimana setiap masyarakat diatur berdasarkan jenis kelamin yang dibentuk melalui intervensi masyarakat dan hal itu diyakini sebagai sesuatu yang alamiah]. Definisi itu mengantar kita pada pemahaman bahwa pembentukan gender dalam masyarakat tidak terjadi secara alami melainkan dikonstruksi oleh masyarakat itu sendiri dalam hal ini laki-laki, sehingga sistem yang terbentuk dalam masyarakat berperspektif laki-laki. Penjelasan itu memberi gambaran tentang hubungan gender dan patriarki, bahwa dari masyarakat yang patriarki akan lahir diskriminasi gender atau praktek-praktek bias gender yang mensubordinasikan perempuan. Sebelum membahas lebih lanjut, terlebih dahulu perlu diperjelas bagaimana proses awal pembentukan gender dalam keluarga? Ketika seorang bayi lahir yang pertama dilontarkan adalah "Apa anaknya, laki-laki atau perempuan?" Pertanyaan itu secara otomatis mempertanyakan jenis topeng mana yang akan digunakan, sebuah topeng gender yang telah disiapkan oleh sistem yang berlaku dalam lingkungan sosialnya. Bayi yang baru lahir akan segera memainkan suatu peran yang telah dikonstruksi dalam masyarakat, peran yang akan membentuknya menjadi maskulin atau feminin. Basow (1992) sependapat dalam hal itu. Menurutnya, gender merupakan perbedaan perempuan dan laki-laki yang disebabkan oleh lingkungan sosial dalam keluarga dan masyarakat. Aspek psikologis dan budaya juga memainkan peran yang sangat penting dalam mengukuhkan sikap dan perasaan sebagai perempuan atau laki-laki (h. 2). Perbedaan gender tidak akan dipermasalahkan, bila tidak menimbulkan ketidakadilan atau diskriminasi gender terhadap satu kategori gender, dalam hal ini perempuan. Pada kenyatannya diskriminasi gender sudah menjadi satu bentuk ketidakadilan yang umum dialami perempuan di berbagai lapisan masyarakat baik di tingkat keluarga, masyarakat, maupun di tingkat negara yang dipraktekkan dengan berbagai bentuk. Fakih (1997), mengemukakan tiga bentuk diskriminasi yaitu: pertama, "diskriminasi secara langsung" artinya ketidakadilan akibat dari suatu aturan yang secara terbuka dan langsung dilakukan pada seseorang. Kedua, "diskriminasi secara tidak langsung", yaitu ketidakadilan yang dialami kelompok tertentu akibat peraturan atau kebijakan yang netral tetapi prakteknya hanya menguntungkan kelompok jenis kelamin yang disenangi saja. Ketiga, "diskriminasi sistemik" adalah perlakuan tidak adil yang berakar pada sejarah, adat, norma, atau struktur masyarakat yang mewariskan keadaan diskriminatif (h. 24). Diskriminasi perjodohan anak perempuan dan laki-laki merupakan suatu bentuk diskriminasi sistemik. Suatu bentuk ketidakadilan yang berakar dan bersumber dari sejarah, adat norma, atau struktur masyarakat yang mewariskan keadaan, dan tradisi yang diskriminatif untuk mewujudkan suatu tujuan. Dalam membahas masalah diskriminasi gender dalam perjodohan, perbedaan biologis juga terkait di dalamnya. Perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan menyebabkan peran yang diharapkan kepada mereka secara sosiologis juga berbeda. Dalam setiap masyarakat dan kebudayaan, sosialisasi peran gender menurut jenis kelamin pun berbeda. Menurut Soe'oed (1999) mengutip Leslie (1982), sosialisasi membentuk laki-laki menjadi public oriented dan perempuan lebih domestic oriented (h. 44). Sejak kecil anak perempuan telah dipersiapkan untuk menjadi ibu dan istri, sehingga sosialisasi membentuknya menjadi pasif dan tergantung. Sedangkan, anak laki-laki dipersiapkan untuk bekerja mencari nafkah, sehingga disosialisasikan untuk menjadi lebih aktif dan tegas agar dapat bersaing dalam masyarakat. Dengan perbedaan peran gender itu, masyarakat senantiasa menempelkan pelabelan-pelabelan yang merugikan perempuan dan nantinya kembali mengukuhkan peran gender yang telah dibentuk dalam masyarakat. Seperti, perempuan itu lemah-lembut, keibuan, dan patuh. Perbedaan peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan juga dikenal dalam kehidupan berumah tangga masyarakat Bugis. Sebagai kepala rumah tangga, ayah memegang kekuasaan tertinggi dan bertanggung jawab terhadap anggota keluarga sebagai pakkatuo 'pencari nafkah' untuk kelangsungan hidup keluarga dan sebagai to-masiri' 'orang yang bertanggung jawab terhadap anggota keluarga terutama perempuan, khususnya yang berkaitan dengan siri'. Sedangkan, perempuan dianggap repo 'ditanggung secara ekonomi' oleh pakkatuo dan merupakan tiang martabat kehormatan keluarga yang harus dijaga oleh to-masiri’-nya agar tidak menimbulkan aib bagi keluarga. Ayah sebagai pemegang peran, kekuasaan, dan tanggung jawab itu secara bertahap mempersiapkan anak laki-laki sesuai urutan usia untuk mewarisi semua hal itu. Oleh karena itu, dalam masyarakat Sulawesi Selatan seorang laki-laki selalu dituntut sifat-sifat 'kelaki-lakiannya' seperti: sifat-sifat pemberani, tegas, dan mandiri. Anak laki-laki yang dapat mengidentifikasi sifat-sifat ayah akan disanjung sebagai kebanggaan keluarga dengan ungkapan ambo'na puana'ki' 'anak ayah' atau istilah kerennya siapa dulu dong ayahnya. Sementara, anak perempuan sejak kecil sudah dibiasakan membatu ibu mengerjakan pekerjaan rumah seperti: memasak; mencuci; menjaga adik; membersihkan; dan segala pekerjan yang dianggap jama-jamang makkunrai 'pekerjaan perempuan'. Peran itu harus diperankan sesuai jenis kelamin, bila seorang anak menyalahi peran, misalnya anak laki-laki ikut memasak atau anak perempuan membela kehormatan keluarga, orang tua akan selalu mengingatkan bahwa itu tidak boleh dengan larangan seperti: ”Itu pekerjan perempuan!” dan ”Itu urusan laki-laki!”. Bahkan, pertukaran peran seperti itu seringkali dianggap sebagai sesuatu yang memalukan. Bias gender dalam semua pembagian kerja secara seksual itu merupakan produk sosialisasi yang sarat dengan nilai-nilai patriarki. Soe'oed (1999) yang mengutip Hurlock (1972) mengemukakan tiga cara menanamkan disiplin pada anak sebagai pola sosialisasi yaitu, otoriter, demokratis, dan permisif (h. 51). Suatu keluarga bisa saja menerapkan pola sosialisasi yang berbeda pada anak sesuai jenis kelamin, sebab peran dan pribadi yang diharapkan dari anak itu juga berbeda. Pola sosialisasi yang diterapkan dalam keluarga suatu masyarakat sangat dipengaruhi oleh budaya setempat. Karena pada dasarnya, pola sosialisasi merupakan perpanjangan tangan nilai-nilai budaya yang ada dalam masyarakat untuk membentuk pribadi anak dalam setiap keluarga. Beberapa pendapat melandasi pernyataan itu. Misalnya: Stanley dan Sue (1993) mendefinisikan sosialisasi sebagai proses transformasi norma-norma, nilai-nilai, dan tingkah laku kepada anak sebagaimana yang diharapkan orang tua, keluarga, dan masyarakat (h. 93). Rostiawati (1999) menganggap sosialisasi merupakan proses seseorang mempelajari budayanya dan mempersiapkan diri agar dapat berfungsi sebagai anggota masyarakat (h. 20). Demikian halnya, Basow (1994) mengartikan "Socialization is the process by which the values and mores of a society are inculcated" [sosialisasi merupakan suatu proses menanamkan nilai-nilai dan adat-istiadat masyarakat tertentu] (h. 105). Proses sosialisasi yang telah ditanamkan sejak kecil akan membentuk dua pribadi yang berbeda antara anak laki-laki dan anak perempuan. Penerapan pola sosialisasi yang membedakan jenis kelamin dan dipengaruhi budaya setempat dapat dilihat dalam kehidupan berkeluarga masyarakat Bugis yang sarat budaya patriarki. Orang tua menonjolkan pola paternalisme dalam mendidik anak. Anak perempuan dianggap sebagai tiang martabat keluarga dan kehormatan yang harus dijaga, sehingga untuk memudahkan mengontrolnya, ia dibentuk menjadi penurut dan 'tergantung' dengan pola otoriter. Sedangkan, anak laki-laki cenderung diberi kebebasan untuk mandiri, berani, dan tegas agar nantinya dapat menjadi kepala rumah tangga dan pencari nafkah yang tangguh, sehingga untuk menumbuhkan kemampuan itu, digunakan pola sosialisasi yang lebih permisif atau demokratis. Sehubungan dengan itu, dalam masyarakat Bugis terdapat prinsip yang sering didengung-dengungkan untuk anak perempuan yaitu "anak harus menurut dan bergantung pada kemauan orang tua", sehingga anak perempuan cenderung penurut dan pasif, sedangkan anak laki-laki lebih agresif. Maka, tidak mengherankan bila dalam hal pengambilan keputusan untuk anak perempuan, campur tangan orang tua lebih besar dibanding anak laki-laki yang lebih diberi kebebasan untuk mengambil keputusan sendiri. Salah satu realisasi dari diskriminasi itu dapat dilihat pada proses penentuan jodoh, yang akan diuraikan lebih lanjut pada pembahasan berikut.
D. Budaya Patriarki dan Bias Gender dalam Sistem Kekerabatan dan Stratifikasi Sosial dalam Masyarakat Bugis
Budaya patriarki tidak hanya berpengaruh pada proses sosialisasi anak dalam keluarga, namun direfleksikan dalam sistem kekerabatan dan stratifikasi sosial dalam masyarakat. Bentuk realisasi dari pengaruh itu dapat dilihat pada: perkawinan anak perempuan yang digunakan untuk mempererat atau menyambung tali kekerabatan; perkawinan anak perempuan dijadikan jalan pintas untuk menaikkan dan mempertahankan tingkatan stratifikasi yang telah dimiliki; penentuan derajat seseorang dilihat dari garis ayah. 1. Sistem Kekerabatan Batasan mengenai hubungan darah seseorang dengan kaum kerabatnya berbeda-beda pada setiap suku. Khusus pada suku Bugis, sistem kekerabatan tersusun atas dasar hubungan darah dan perkawinan. Pertalian kekerabatan menganut prinsip parental yaitu kekerabatan dihitung melalui kedua belah pihak orang tua. Menurut Mattulada (1995) yang mengutip Friedericy (1933), pertalian kekerabatan masyarakat Bugis berdasarkan prinsip patrilineal, tetapi perkawinan bersifat matrilokal. Oleh karena itu, semua anggota keluarga dari kedua belah pihak termasuk seajing 'kerabat', dan pertalian antar kerabat itu disebut asseajingeng 'kekerabatan' (h. 38). Hubungan kekerabatan masyarakat Bugis sangat erat, tidak satu pun urusan yang tidak melibatkan sebanyak mungkin anggota keluarga terutama dalam upacara kelahiran, kematian, dan perkawinan. Peranan keluarga akan tampak lebih jelas dalam hal yang berhubungan dengan siri', sudah menjadi kewajiban anggota keluarga untuk berpartisipasi secara spontan. Hubungan perkawinan merupakan media untuk mempererat tali kekerabatan karena ikatan kekeluargaan itu menurut Chabot (1984) digunakan untuk memperjuangkan "martabat dan kekuasaan" (h. 199). Koentjaraningrat (1992), secara garis besar membedakan prinsip pemilihan jodoh dalam perkawinan dengan dua istilah yaitu "eksogami dan endogami" (h. 94–95). Prinsip yang mengharuskan orang mencari jodoh di luar lingkungan sosialnya sendiri, seperti di luar lingkungan kerabat, golongan sosial dan lingkungan pemukiman disebut eksogami, sedangkan endogami adalah prinsip yang mengharuskan orang mencari jodoh di dalam lingkungan sosialnya sendiri misalnya dalam lingkungan kerabat sendiri. Di Sulawesi Selatan, perkawinan yang dianggap ideal adalah perkawinan dengan anggota kerabat sendiri (endogami kerabat). Perkawinan antarsaudara sepupu baik dari pihak ayah maupun pihak ibu dianggap sebagai perkawinan ideal yang menjadi preferensi umum. Menurut Mattulada (1997) bentuk perkawinan itu adalah: pertama, "assialang marola 'perkawinan antarsaudara sepupu sederajat ke satu'. Kedua, assialanna memeng 'perkawinan antarsepupu sederajat kedua'. Ketiga, ripadeppe mabelae 'perkawinan antarsepupu sederajat ketiga'." (h. 274). Khusus pada suku Bugis terutama golongan bangsawan yang menonjol adalah endogami kerabat dan endogami derajat. Kecenderungan pemilihan jodoh dalam kerabat sendiri itu merupakan salah satu pertimbangan sehingga pemilihan jodoh anak perempuan dalam masyarakat Bugis dikontrol ketat oleh orang tua dan kerabat. Pertimbangan lainnya adalah menyangkut kesetaraan dari segi ekonomi, pendidikan, pekerjaan. Khusus kalangan bangsawan mengutamakan kesetaraan derajat kebangsawanan baru kesetaraan yang lain. sehingga untuk memudahkan menemukan pasangan yang dianggap tepat, dipilih dari anggota kerabat sendiri. Selain itu, perkawinan bagi masyarakat Bugis merupakan suatu pranata sosial yang mempunyai implikasi luas pada masa-masa selanjutnya untuk mengukuhkan ikatan kekeluargaan. Untuk mewujudkan semua itu, media yang dianggap tepat adalah pemilihan jodoh anak perempuan, karena anak perempuan nakkelori to-matoa ‘tergantung pada kemauan orang tua’. Ia adalah pihak yang ditunjuk dan dipilih, sedangkan anak laki-laki menunjuk dan memilih. Oleh karena itu yang dikontrol untuk mengukuhkan tali kekerabatan adalah anak perempuan. Pihak yang berwewenang terlibat untuk membicarakan dan memutuskan masalah perkawinan itu adalah ayah dan kerabat laki-laki lainnya. Anak perempuan yang akan menjalaninya tidak dibolehkan terlibat dalam pembicaraan. Ibu dan kerabat perempuan lainnya biasanya berkumpul di ruangan lain untuk menunggu dan mendengar hasil keputusan, mereka hanya mendukung hasil keputusan dan melaksanakan aturan yang telah disepakati. Dengan demikian, benar yang dikatakan Bhasin (1996) yang mengutip Mitchell (t.t.) bahwa patriarki diartikan sebagai simbol kekuatan ayah (laki-laki) yang mempertukarkan perempuan dalam sistem kekerabatan (h. 4).
2. Konsep Stratifikasi Sosial Suku Bugis Secara teoretis, semua manusia dapat dianggap sederajat, namun kenyataannya kehidupan dalam kelompok sosial tidaklah demikian. Dalam masyarakat terdapat stratifikasi yang merupakan gejala universal dan bagian dari sistem sosial setiap masyarakat. Sebelum membahas konsep stratifikasi yang berlaku pada masyarakat Bugis, ada baiknya kita terlebih dahulu memperjelas apa yang dimaksud stratifikasi sosial. Stratifikasi sosial merupakan tingkatan-tingkatan yang ada dalam masyarakat berdasarkan keturunan, kelas sosial, budaya, ekonomi, jenis kelamin, dan umur. Menurut Syani (1995) yang mengutip Sorokin (t.t.) "stratifikasi adalah perbedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara hierarkhis" (h. 73). Dalam membahas masalah stratifikasi, ada dua unsur penting yang patut dipahami yakni status dan peran. Istilah status berbeda dengan istilah peran. Status merupakan kedudukan sebagai pencerminan dari hak dan kewajiban. Sedangkan, peran merupakan penggunaan dari hak dan kewajiban. Peran seseorang senantiasa berubah-ubah sesuai dengan situasi yang dihadapinya dan dengan siapa ia mengadakan interaksi. Susanto (1983) yang mengutip Linton (1963), mengemukakan dua jenis status yakni: pertama, status asal (ascribed status) 'status yang diperoleh berdasarkan wewenang atau yang dinyatakan [secara turun-temurun]'. Misalnya, status seorang bangsawan Bugis bergelar Andi yang masih banyak ditemukan pada masyarakat Sulawesi Selatan. Kedua, status capaian (achieved status) 'status yang diperoleh berdasarkan pengakuan orang lain atau keberhasilan [prestasi]'. Status semacam itu terutama ditemukan dalam masyarakat modern (h. 79). Status dan peran yang dilakoni seseorang kemudian menentukan kedudukan dan derajat sosialnya. Istilah derajat sosial (social rank) merupakan akibat dari kedudukan sosial (social potition). Bila kedudukan seseorang yang ditentukan oleh jaringan interaksi dan kekuasaan yang dimiliki mampu dijalankan sebagaimana mestinya, maka secara otomatis derajatnya akan terangkat. Stratifikasi sosial kemudian terbentuk dengan adanya status sosial, peran sosial, kedudukan sosial, dan derajat sosial masing-masing individu. Stratifikasi itu dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu sistem lapisan terbuka 'modern' dan sistem lapisan tertutup 'kelas/kasta'. Pada sistem kelas/kasta dikenal dua bentuk yaitu "naik tangga sosial" dan "turun tangga sosial" (Susanto, 1983, hlm. 66). Kesempatan untuk naik tangga sosial sangat sukar dan tertutup. Proses stratifikasi yang mengandung makna kemungkinan turun tangga sosial dapat dijumpai pada keluarga bangsawan yang mengalamai kemunduran ekonomi. Hal itu mengakibatkan kemunduran sosial dan sekaligus menjadi indikator tidak langsung bahwa faktor materi turut menentukan pembentukan status sosial. Sementara tidak dapat dipungkiri bahwa sistem kelas/kasta akan lenyap dan diganti oleh sistem lapisan modern, karena dalam masyarakat yang berkembang hanya memungkinkan orang maju bila mempunyai suatu keterampilan dan keahlian yang makin diperlukan. Dalam sistem lapisan itu faktor pendidikan dan kemapanan ekonomi merupakan faktor yang memungkinkan orang makin cepat meningkat dalam status sosialnya. Khusus dalam masyarakat Bugis, ciri umum stratifikasi yang telah disebut tadi juga berlaku di Sulawesi Selatan, dan pada dasarnya dalam kehidupan sehari-hari sistem kelas juga mengalami pergeseran. Dari beberapa catatan sejarah menunjukkan bahwa awal terjadinya sistem stratifikasi sosial pada masyarakat tradisional, dalam hal ini masyarakat Bugis, lebih didasarkan atas faktor status asal yaitu stratifikasi sosial masyarakat bangsawan Bugis berdasarkan darah dan keturunan. Adapun perubahan dan pergeseran yang terjadi kemudian lebih disebabkan oleh tuntutan zaman, dimana kehidupan sosial dan kebutuhan hidup tidak lagi memungkinkan bagi kalangan bangsawan untuk dapat bertahan hanya dengan status asal. Dengan demikian, status capaian menjadi penting dan harus melengkapi status asal untuk dapat meningkatkan derajat sosial dan memenuhi kebutuhan hidup yang berkaitan dengan ekonomi. Oleh karena itu, yang menonjol dan paling dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari adalah status capaian. Sementara, status asal dipermasalahkan dan dianggap penting dalam proses perkawinan, terutama dalam kalangan bangsawan. Hal itu dapat dipahami karena stratifikasi sosial berdasarkan darah dan keturunan masih merupakan suatu pola kehidupan yang dipatuhi dan menjadi kode etik 'tata krama' sebagai pembatas lingkup pergaulan, terutama di perdesaan. Sementara, di perkotaan juga masih berlaku terutama di lingkungan keluarga masing-masing. Status asal di kalangan bangsawan dipergunakan untuk menentukan siapa yang akan kawin dengan siapa. Hal itu berkaitan dengan nilai sosial yang dianggap penting dalam masyarakat Bugis yaitu "status dan derajat sosial", suatu nilai yang harus dipertahankan agar tidak turun bahkan selalu diupayakan agar bertambah naik (Rahim, 1985, h. 5). Sementara, dalam masyarakat Bugis perkawinan merupakan suatu jalan untuk meningkatkan derajat sosial. Dengan demikian, beberapa penjelasan itu mengantar kita untuk memahami bagaimana bentuk perkawinan yang diinginkan kalangan bangsawan Bugis. Salah satu upaya untuk meningkatkan derajat sosial itu, yaitu berusaha mengawinkan anak perempuan dengan seseorang yang memiliki derajat sosial yang lebih tinggi. Perkawinan semacam itu menurut Rahim (1985) disebut kawin naik, bentuk perkawinan itu harus selalu dilihat dari derajat dan status pihak perempuan. Kebalikan dari kawin naik adalah kawin turun 'derajat perempuan lebih tinggi dari derajat laki-lakinya'. Oleh karena itu, selalu diupayakan kawin naik, kalau pun terpaksa melakukan kawin turun maka konsekuensinya adalah perkawinan itu dilakukan secara silariang ‘kawin lari’ atau menikah tanpa restu orang tua dan kerabat (h. 7). Lain halnya dengan anak laki-laki, ia diperbolehkan menikah dengan perempuan dari kalangan mana saja. Perbedaan aturan itu disebabkan oleh penentuan derajat anak yang dilahirkan diambil dari garis ayah, sehingga derajat ibu tidak berpengaruh terhadap derajat anak. Oleh sebab itu, untuk mempertahankan atau menaikkan derajat sosial, dilakukan kontrol ketat pada pemilihan jodoh anak perempuan agar menduduki tingkatan stratifikasi yang lebih tinggi atau minimal dapat mempertahankan posisi yang sudah dimiliki.
E. Anak Perempuan Bangsawan Bugis dalam Budaya Mappasitaro ‘Perjodohan’
1. Apa Itu Mappasitaro? Istilah mappasitaro menurut Andi Zainal Abidin, salah seorang tokoh budaya Sulawesi Selatan, sepadan dengan istilah mappasitangkereng yang artinya membuat kesepakatan untuk menjodohkan anak. Gambaran mappasitaro terjadi pada dua orang laki-laki yang masing-masing mempunyai istri yang sedang hamil. Mereka membuat perjanjian bahwa kalau dari istri yang satu melahirkan anak laki-laki dan istri yang lainnya melahirkan anak perempuan, kedua anak itu kelak akan dikawinkan. Mappasitaro juga dapat dilakukan ketika anak laki-laki dan anak perempuan kedua belah pihak masih kecil dan kelak akan dinikahkan setelah dianggap layak dikawinkan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa dua bentuk mappasitaro seperti telah disebutkan di atas tidak umum lagi dilakukan. Sekarang yang masih dilakukan adalah anak perempuan yang sudah masanya kawin dicarikan laki-laki yang dianggap sekupu 'sepadan' oleh orang tua baik yang bangsawan maupun bukan bangsawan. Menurut Andi Zainal Abidin hal itu tidak dianggap mappasitaro akan tetapi ri assapparengi alakkaingeng sitinajae 'dicarikan calon suami yang pantas untuknya'. Namun, berdasarkan kenyataan yang saya saksikan sendiri, jika dilihat dari prosesnya, hal itu masih merupakan bentuk lain dari mappasitaro. Pada dasarnya menurut adat Sulawesi Selatan, anak yang akan dinikahkan terlebih dahulu dimintai persetujuan. Akan tetapi dalam praktek pelaksanaannya terjadi penyimpangan, misalnya orang tua perempuan merekayasa seolah-olah anak perempuannya setuju, padahal ia menarik rambut anaknya ke belakang atau mendorong kepalanya sebagai tanda setuju atas pertanyaan: "Setujukah engkau dikawinkan dengan si Anu?" Orang tua dahulu menganjurkan anaknya menangis setelah diberitahu tentang jodohnya. Karena bila tidak menangis akan ditertawakan orang dan dipandang sebagai tanda bahwa ia menginginkan seorang laki-laki. Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, pengertian mappasitaro sehubungan dengan penelitian ini adalah "menjodohkan", berasal dari kata mappasi 'saling' dan taro 'simpan'. Maksudnya adalah membuat suatu kesepakatan untuk menikahkan anak. Kebiasaan itu dilakukan secara berbeda-beda antara satu keluarga dan keluarga lainnya. Ada yang mappasitaro ketika anak mereka belum lahir dan ada yang sejak kecil, namun hal semacam itu sudah jarang ditemukan. Bentuk mappasitaro yang masih umum ditemukan terangkai dalam tata cara perkawinan masyarakat Bugis yakni pada saat pelamaran. Proses mappasitaro dalam pelamaran itu terjadi pada waktu mappuce-puce, massuro/madduta, dan mappettu ada. Dalam hal ini yang terlibat dalam pembicaraan dan memutuskan adalah ayah dan kerabat laki-laki lainnya. Anak perempuan yang akan dinikahkan tidak dibolehkan terlibat dalam pengambilan keputusan itu. Kalau pun diberi tahu bukan berarti meminta persetujuan anak melainkan hanya sekedar penyampaian kalau akan dinikahkan. Bahkan ada yang sama sekali tidak diberitahu sampai pada acara mappaenre' balanca 'naik uang belanja'. Demikian halnya ibu dan kerabat perempuan lainya, pada waktu pembicaraan berlangsung mereka hanya duduk mendengarkan dan menunggu hasil keputusan yang biasanya terpisah di ruangan lain. Dalam proses itulah seringkali terjadi rekayasa persetujuan dan pemaksaan orang tua dan kerabat terhadap anak untuk tunduk menerima keputusan. Beberapa penjelasan di atas memberikan pemahaman bahwa yang dimaksud mappasitaro dalam penelitian ini adalah perjodohan yang dipaksakan yaitu: pertama, mappasitaro ketika anak sudah dianggap cukup dewasa untuk dinikahkan yang dilakukan beberapa waktu sebelum dinikahkan. Kedua, mappasitaro yang dilakukan ketika terjadi pelamaran dalam proses perkawinan.
2. Peranan Orang tua, Kerabat, dan Anak Perempuan dalam Mappasitaro Dulu dan Sekarang: Adakah yang Berubah? Orang tua zaman dahulu mempunyai catatan harian yang disebut sure' bilang. Menurut Andi Muhammad Ali Petta Nompo seorang tokoh Budaya di Bone, Sulawesi Selatan, sure' bilang itu berfungsi sebagai catatan harian. Dalam sure' bilang itulah kita bisa temukan catatan mappasitaro zaman dahulu yang biasa dilakukan setelah dianggap sudah cukup umur untuk dinikahkan, ada pula ketika anak masih kecil, atau bahkan sebelum lahir, seperti ungkapan di bawah ini: … oroane anamu atau makkunrai?, makkunrai puang, oh iyo taroni, taroang na' wa'… (laki-laki anaknya atau perempuan, perempuan puang, oh iya simpankan yah !…) pada hal bisa jadi cucunya I la pong arung (bangsawan murni) ini belum lahir… Lao a joppa-joppa di bolana anriku I yanu …nauwitai engka ana'na ma anu-anu wita, naku akkedda taroangngi sappusisenna iyaro pasialai matu…(saya pergi jalan-jalan ke rumah adikku si … di sana saya lihat anak gadisnya yang kelihatannya boleh juga, jadi saya bilang simpankan ini anak untuk sepupunya nanti kita nikahkan…) (Wawancara, Bone, 15-08-2000).
Pada masa kerajaan dahulu, terutama bangsawan Bugis menjadikan perkawinan putri raja dengan anak putra raja dari kerajaan lain sebagai senjata politik untuk berkuasa. Misalnya, Opu Daeng Kamase yang mengawini anak raja di Semenanjung dan Kalimantan yang turunannya menjadi Sultan Johor, Sultan Slangor, Sultan Kedah, Sultan Mempawa, dan Sultan Sambas. La Tenritatta Arung Palakka raja Bone memakai perkawinan antar bangsawan berbagai kerajaan di Sulawesi Selatan sebagai alat pemersatu. Perjodohan seperti yang disebutkan di atas terjadi pada abad ke-18. Pada masa kerajaan itulah diperkirakan maraknya budaya mappasitaro di Sulawesi Selatan (Wawancara, Makassar, 30-10-2000). Dalam buku Ritumpanna Wélenrénngé: sebuah Episoda Sastra Bugis Klasik Galigo (lontara/sure' yang sudah diterjemahkan) dijelaskan bahwa perkawinan yang dianjurkan dan dianggap baik terutama bagi kalangan raja-raja adalah endogami golongan 'perkawinan yang dilakukan antara pihak yang sederajat'. Perkawinan itu dipadukan dengan eksogami tempat 'berasal dari lingkungan masyarakat yang berbeda' dan cross cousin 'sepupu silang' sebagai syarat kesempurnaan. Hal itu dapat dilihat dalam Galigo yang secara keseluruhan ceritanya diawali dan diakhiri dengan bentuk perkawinan yang demikian. Misalnya, "Bataraguru kawin dengan Wé Nyiliqtimô (anak perempuan saudara laki-laki ibu Bataraguru) dan Salinrunllangî kawin dengan Mutiatoja (anak perempuan saudara laki-laki ibu Salinrunllangî)" (Enre, 1999, h. 127–128). Lebih lanjut, Andi Zainal Abidin menjelaskan bahwa adapun tujuan dilakukannya mappasitaro adalah: pertama, mendekatkan kembali hubungan darah antara kedua belah pihak. Kedua, melestarikan hubungan persahabatan. Ketiga, melebarkan daun 'memperluas hubungan kekeluargaan' terutama di kalangan bangsawan dahulu agar keturunannya dapat menjadi raja atau pejabat di daerah lain. Keempat, misalnya dua kelompok keluarga bangsawan, bertujuan mempertahankan status atau derajat kebangsawanannya (Wawancara, Makassar, 30-10-2000). Mappasitaro seperti itu pada zaman dahulu pada masyarakat Bugis dapat dilakukan kapan dan di mana saja, tidak dalam bentuk tertulis dan tidak ditandai dengan sambutan atau perayaan-perayaan, hanya secara lisan namun sangat dipegang teguh. Hal itu sesuai dengan prinsip orang Bugis yaitu ada e mi riaseng tau 'manusia hanya dapat dianggap sebagai manusia bila dapat dipegang dan dipercaya kata-katanya' (Wawancara, Andi Muhammad Ali, Bone, 15-08-2000). Dengan adanya prinsip itu, maka dapat dipahami bagaimana keteguhan masyarakat zaman dahulu memegang sebuah perjanjian mappasitaro untuk mempertahankan sebuah harga diri. Oleh karena itu, nilai-nilai kepatuhan yang didukung dengan norma-norma agama, telah ditanamkan kepada anak sejak kecil dalam tata krama terhadap orang tua dan keluarga. Hal itu dilakukan untuk memudahkan orang tua dan keluarga mengontrol anak agar tidak melakukan sesuatu di luar kehendak orang tua. Pada zaman dahulu mappasitaro merupakan suatu hal yang dianggap penting untuk dilakukan, karena cara itu digunakan sebagai alat untuk mempertahankan hubungan kekerabatan, hubungan persaudaraan, hubungan persahabatan, untuk menjalin kerja sama, untuk memenangkan suatu peperangan, untuk mempertahankan kekuasaan, untuk menaikkan status sosial, bahkan dalam zaman kerajaan dahulu digunakan untuk mempererat hubungan dua kerajaan. Salah satu contoh mappasitaro zaman dahulu yang dilakukan untuk saling bahu membahu dalam peperangan seperti diungkap oleh Andi Muhammad Ali sebagai berikut: … Kakek saya dari selatan (Kajuara), kakek istri saya dari utara, dalam perang Toraja melawan Sidrap, Bone membantu Sidrap, kakek saya memimpin pasukan dari selatan, kakek istri saya dari utara juga memimpin pasukan dan masih ada hubungan keluarga, kakek saya mengatakan "Idi 'ndi pakedoi cina' anana ' pa' engkasi gare kutuhe musue, pessangnga dolo tudang-tudang mappisau…" (kita dik tolong kerahkan pasukan karena musuh katanya ada di sebelah sana, biar saya duduk-duduk istirahat sejenak) ah…jalan…serang…serang…musuh mundur, ini tadi kembali melapor kepada yang dari selatan… "Alhamdulillah puang soroni…" (Alhamdulillah puang musuh sudah mundur…), "Laoni mai pale 'ndi tudang-tudang" (ke sinilah dik duduk-duduk), di situ mereka mappasitaro tapi tidak ditentukan siapa dengan siapa, makkeddami bawang "Kumamminasai Puangnge 'ndi pasialai anakku na' anamu… (hanya mengatakan "kalau Tuhan menghendaki dik nikahkan nanti anakku dengan anakmu…) setelah tiba saatnya kesepakatan itu akan dilaksanakan dipilihlah salah satu yang dianggap cocok ketika datang lamaran, kemudian dinikahkan …(Wawancara, Bone, 15-08-2000).
Setelah dilakukan kesepakatan mappasitaro, tidak ada upaya untuk memberi kesempatan kepada anak agar saling mengenal satu sama lain, karena pada kesepakatan awal belum ditentukan anak mana yang akan menjalaninya. Kalaupun salah satunya sudah ditentukan seperti cerita mappasitaro ketika anak baru lahir yang telah diuraikan di atas, tapi pasangannya belum diketahui, jadi sama saja, tetap tidak memperoleh kesempatan untuk saling mengenal satu sama lain. Mereka baru dipertemukan setelah tiba saatnya untuk merealisasikan kesepakatan itu dalam bentuk pernikahan. Pada kesempatan itulah baru ditunjuk anak mana yang akan menjalaninya. Dalam hal ini ada dua faktor yang menyebabkan penunjukan secara dadakan seperti itu, pertama karena dalam masyarakat Bugis pada zaman dahulu ditabukan yang namanya pacaran. Jangankan pacaran, seorang laki-laki kalau bertamu ke rumah orang, harus mengetuk tiga kali baru memberi salam, sejenak berhenti di depan pintu untuk memberi kesempatan pada anak gadis atau perempuan lainnya untuk masuk ke ruang dalam. Aturan seperti itu juga dijelaskan Faisal (1993) bahwa seorang anak gadis dalam masyarakat Bugis tidak dibiarkan bebas berjalan kemana-mana tanpa tujuan tertentu kalau tidak diantar keluarga dekatnya (h. 26). Kedua, nilai-nilai kepatuhan yang didukung dengan pembenaran norma-norma agama yang disalahtafsirkan untuk menuruti apa pun yang dikendaki orang tua. Sehingga orang tua dapat menentukan kapan dan apa saja untuk anaknya, terutama untuk anak perempuan. Apa yang dianggap baik orang tua, juga dianggap terbaik untuk anaknya tanpa menghiraukan perasaan atau keinginan anak itu sendiri. Pada pernikahan yang dijodohkan, umumnya anak tidak diberi hak untuk menolak, bahkan biasanya anak perempuan baru mengenal calon suaminya saat menikah. Mereka tidak mempunyai keberanian berbeda pendapat dengan orang tua sehingga orang tua semakin menjadi superior. Sikap seperti itu dianggap Hanum (1997) sebagai ciri kehidupan masyarakat tradisional dan masyarakat terisolasi yang mempunyai wawasan berpikir sangat terbatas (h. 23). Mappasitaro model dulu bukannya tidak ditemukan lagi sekarang, namun bentuk dan tujuannya sedikit mengalami perubahan. Saat ini mappasitaro yang dilakukan sejak kecil atau sebelum lahir tidak lagi ditemukan, walaupun mappasitaro yang dilakukan dalam usia belia masih juga ditemukan. Namun, bentuk mappasitaro yang ada saat ini pada umumnya dilakukan setelah anak dianggap cukup dewasa untuk dinikahkan. Hal itu tergambar dari usia menikah informan yang semakin tinggi, yaitu rata-rata berusia 18–26 tahun. Akan tetapi sebenarnya bukan model mappasitaro-nya yang penting, dari kecil atau setelah dewasa bukan menjadi masalah, karena pada akhirnya juga tetap akan mengalami keterpaksaan menjalani rumah tangga, bila tiba saatnya dinikahkan. Baik mappasitaro zaman dahulu maupun mappasitaro saat ini, keduanya masih mengabaikan pensosialisasian. Seperti telah dijelaskan terdahulu bahwa tidak ada upaya yang dilakukan untuk memberi kesempatan kepada kedua anak yang telah di-pasitaro untuk bersosialisasi saling mengenal satu sama lain. Pengambilan keputusan semata-mata mengandalkan otoritas orang tua dan memaksa anak mematuhinya. Maka, tidak mengherankan bila anak perempuan baru mengenal calon suaminya saat menikah dan mereka tidak mempunyai hak untuk menentukan pasangan ataupun menolak keinginan orang tua. Anggun yang secara mendadak dijodohkan dengan sepupu dua kali mengakui kalau memang mengenal sepupunya itu, tapi hanya kenal muka dan pernah melihatnya dua atau tiga kali. Mereka pun tidak pernah bertegur sapa. Anggun sangat menyesalkan tindakan otoriter bapaknya yang sama sekali tidak melibatkannya dalam proses pengambilan keputusan dan tidak diberitahu sebelumnya, sehingga tidak ada kesempatan untuk saling mengenal seperti diungkap berikut ini: … hampir setelah kasi naik uang baru diberitahu, bagaimana ini mau kasi naik uang langsung disuruh pulang, weh bisanya saya dikasi begitu, saya kayak tidak berhak untuk ngomong, kaya boneka didudukkan, bahkan setelah pulang ke rumah bapak tidak pernah bicara saya, dia sibuk cari hari baik, sibuk sendiri, saya bilang ih kenapa saya tidak pernah ditanya-tanya ini, saya pura-pura mi lagi pergi bersedih-bersedih tapi tidak ada tong yang pedulika bilang bagaimana perasaan ku, tidaak … diacukanka' sibukmi cari hari bae sibukmi hubungi keluarga, weh betul-betul ini kaya kembali ke zaman dulu bapakku padahal dia di zaman modern …(Wawancara, Bone,15-08- 2000).
Kasus ini menunjukkan kalau masalah sosialisasi sebelum perkawinan dilakukan tidak dianggap penting dan tidak dilakukan sama sekali. Kalaupun ada yang melakukan upaya pensosialisasian, tetap seperti sebuah tekanan karena pertimbangan dan kepentingan anak tidak dianggap penting, sehingga sosialisasi dilakukan bukan karena kerelaan tapi karena keterpaksaan. Dengan demikian tetap saja sosialisasi itu tidak berarti apa-apa untuk membantu menjalani sebuah rumah tangga. Mereka merasa terpaksa menjalani bahkan ada yang menolak dengan cara minggat, bunuh diri, menolak hubungan seksual, dan lain-lain. Hal itu terjadi karena pada awalnya sudah dilakukan dengan pemaksaan sehingga anak tidak ikhlas untuk menjalaninya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak satu informan pun yang saling mengenal pribadi masing-masing pasangan, bahkan dua informan di antaranya baru ketemu setelah di pelaminan, padahal dari sekian informan yang diwawancarai sebagian di antaranya mengungkapkan bahwa sebenarnya ada keinginan untuk saling mengenal terlebih dahulu, kalau memang cocok baru dilanjutkan kepernikahan, seperti diungkapkan informan berikut ini: … 'nda tau kenapa bapak ngotot sekali, tidak pernah ngomong, saya tidak dilibatkan pada prosesnya pada hal kita sudah dewasa, walaupun sudah pastikan seharusnya tetap ngomong, bagaimana, apa maumu, apakah mau dikasi ketemu dulu, kenal dulu, ini tidak, betul-betul saya rasa kaya tempo dulu, untung saya tidak disembunyikan di kamar, maunya dikasi kenal-kenallah dulu kalau cocok yah lanjut, kalau tidak eh… ada tenggang waktu untuk berkenalan, itu tidak, langsung divonis, harusnya bilang tunggu dulu saya tanya anakku bagaimana baiknya, apakah mau kenal dulu, jadi ada kesempatan untuk jalan menyesuaikan diri, disitu saya kecewa sekali, mungkin kita bisa ngomong kalau ada kesempatan untuk bilang tapi tidak ada betul-betul tidak ada kesempatan dan tidak ada pilihan, langsung divonis … (Wawancara dengan Anggun, Bone, 15-08-2000).
Ungkapan itu menggambarkan bahwa pada dasarnya bukan perjodohan yang tidak disetujui si anak, tetapi prosesnya karena merasa dipaksa dan tidak diberi kesempatan mengemukakan pendapat dan tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Padahal seandainya proses perjodohan dijalankan sesuai saran si anak, mungkin semuanya akan berjalan lancar tanpa mengorbankan anak. Faridl (1999) sependapat dalam hal ini, bahwa pernikahan harus sama-sama ridha dan ikhlas dari kedua belah pihak, terutama kedua mempelai tidak boleh ada paksaan atau tekanan dari pihak manapun, termasuk kedua orang tua. Walaupun orang tua yakin bahwa calon menantu itu baik dan dianggap dapat membahagiakan keluarga. Lebih lanjut dijelaskan bahwa menikahkan seorang anak secara paksa dengan seseorang yang tidak disukai atau dicintai merupakan awal berumah tangga yang tidak baik, karena cinta tidak bisa dipaksakan dan rasa cinta itu sangat penting dalam membangun rumah tangga (h. 28–31). Pendapat itu berdasar pada sebua kisah di zaman Rasululah Saw. bahwa pernah terjadi seorang wanita datang menghadap Rasul. Dia memuji-muji suaminya sebagai seorang suami yang baik, tetapi dia tidak dapat mencintai suaminya. Rasululah memanggil suaminya untuk kemudian menceraikan istrinya itu. F. Mappasitaro ‘Perjodohan’, Mengapa Masih Dipertahankan? Apa yang mendorong pemberlakuan mappasitaro? Hasil penelitian ini menunjukkan adanya indikasi bahwa yang menonjol pada pernikahan yang di-pasitaro dalam kalangan bangsawan adalah kepentingan orang tua dan kerabat. Hal itu terlihat pada kasus-kasus yang ada. Pernikahan yang di-pasitaro dilakukan dengan berbagai motivasi. Keseluruhan motivasi itu dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori besar yang menjadi faktor pendorong dilakukakannya mappasitaro yaitu: 1. Prinsip Perkawinan Endogami dan Bias Kesukuan dalam Masyarakat Bugis Endogami Kerabat Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari kasus-kasus perjodohan ini cenderung menganut prinsip endogami kerabat, hal itu tergambar pada pernikahan pertama perempuan bangsawan Bugis yang diwawancarai pada umumnya di-pasitaro dengan kerabat sendiri. Di antara dua belas informan, hanya dua orang yang menikah dengan orang lain, itu pun dia berhasil menikan dengan cara kawin lari (kawin tidak wajar) dan tidak mendapat restu dari orang tua dan kerabat. Prinsip endogami kerabat dilakukan untuk mempererat tali kekerabatan atau menyambung tali kerabat yang sudah jauh dan pertimbangan warisan. Mappasitaro dengan prinsip endogami kerabat juga sering kali dilakukan karena pertimbangan warisan. Sebagaimana tercermin dalam kasus Fina yang pernah di-pasitaro dengan sepupu satu kali. Hal itu dimotivasi oleh ketidakrelaan orang tua yang menyayangkan harta atau warisan yang akan diberikan kepada Fina jatuh ke tangan orang lain, sehingga memilih kerabat sendiri. Hal itu terbukti ketika Fina menolak dijodohkan dan terpaksa menempuh cara kawin lari untuk menikah dengan pilihannya sendiri, semua warisan yang akan diberikan kepadanya dihapuskan oleh orang tuanya, karena pernikahan itu tidak direstui. Seperti diungkap Fina berikut ini: … yang saya dengar mereka semua sudah mencoret nama saya sebagai anak malah Mammi… mengutuk saya sampai bilang saya akan dipaoppangi (ditutupkan) tanah seperti orang yang sudah dianggap meninggal dan dipotongkan kambing kalau jadi menikah, sebagai tanda penyangkalannya kalau saya bukan anggota keluarga lagi, saya dibuang dari keluarga, warisan saya dihapus semua… (Wawancara, Bone, 14-08-2000).
Demikian pula, Gita yang di-pasitaro dengan kerabat jauh, selain untuk mendekatkan kembali hubungan kekerabatan yang sudah jauh juga karena calon suaminya adalah pewaris tunggal laki-laki dalam keluarga, sehingga disayangkan menikah dengan orang lain. Kecenderungan endogami kerabat juga dilakukan karena menghindari perkawinan dengan suku lain.
Endogami Derajat Kebangsawanan Mappasitaro dalam kalangan bangsawan Bugis tidak selamanya terjadi dalam kerabat sendiri, tapi terdapat pula kecenderungan mappasitaro dengan sesama bangsawan dari kerabat lain yang disebut endogami derajat. Biasanya dilakukan oleh keluarga yang bersahabat, namun tetap mempertimbangkan kesetaraan dalam hal kebangsawanan, ekonomi, dan pertimbangan lain seperti pendidikan dan pekerjaan. Mappasitaro dilakukan untuk lebih mempererat dan menyatukan dua keluarga yang bersahabat dan untuk memperluas hubungan keluarga. Hal itu tergambar dalam kasus yang dialami Dina yang dinikahkan dengan anak sahabat ayahnya yang juga bangsawan, berpendidikan, dan telah bekerja. Seperti diungkap berikut ini: … dulu saya dijodohkan bapak, waktu itu bapak berteman dengan satu keluarga teman sekolah dulu dan teman seperjuangan, … setelah anak-anak mereka besar suatu hari teman bapak ini cerita-cerita dan … dia menawarkan untuk baku besan, katanya supaya semakin erat hubungan baenya … (Wawancara, Makassar, 5-08-2000).
2. Pertimbangan Pekerjaan, Pendidikan, dan Kesetaraan Status Ekonomi Meskipun, perkawinan yang dianggap ideal dalam kalangan bangsawan Bugis menganut prinsip endogami kerabat, namun tetap memperhatikan pertimbangan lain seperti pendidikan, pekerjaan, dan status ekonomi, tidak hanya semata-mata karena ia keluarga atau sesama bangsawan. Terutama bagi anak perempuan, pasangan yang dianggap ideal untuknya adalah keluarga atau bangsawan yang dianggap setara atau lebih tinggi statusnya baik dari segi ekonomi, pendidikan, atau pekerjaan. Seperti terungkap dari hasil wawancara dengan Eli berikut ini: … yang jelasnya dia diterima karena dia masih keluarga, sudah punya pekerjaan, pendidikannya tinggi dan yang terutama karena sama-sama bangsawan, bapak yang paling ketat dalam hal ini …. (Wawancara, Makassar, 21-8-2000).
3. Upaya Menaikkan dan Mempertahankan Derajat Kebangsawanan Anggun dijodohkan dengan sepupu dua kali dari pihak ayah. Ketika dia masih kecil, dua kakek bersaudara (kakek Anggun dan kakek mantan suaminya) membuat kesepakatan untuk menjodohkan salah satu dari cucunya sebagai pelanjut keturunan bangsawan murni, namun belum ditentukan cucu yang dimaksud. Setelah cucu laki-laki pertama dewasa dan dianggap cukup umur untuk menikah barulah ditunjuk salah satu cucu perempuan yang menjadi calon pasangannya. Sebagaimana diungkap Anggun bahwa: … jauh sebelumnya ketika kami bersaudara masih kecil, antara kakek kami dan kakek mantan suami saya (bersaudara) membuat suatu perjanjian secara tidak tertulis untuk menjodohkan cucunya sebagai pelanjut keturunan bangsawan yang murni dari mereka berdua, namun pada saat itu tidak ditentukan siapa di antara kami baik laki-laki maupun yang perempuannya. …sebelum kakek meninggal dia mengulangi pesannya bahwa harus ada keturunannya kawin dengan keturunan saudaranya (kakek saya)… (Wawancara, Bone, 15-08- 2000).
Selain untuk mempertahankan derajat kebangsawanan, ditemukan pula motivasi lain dilakukannya mappasitaro yaitu untuk menaikkan derajat kebangsawanan yang sudah dimiliki, sebagaimana yang dialami Ika. Ketika Ika baru berusia 14 tahun, ia dijodohkan secara paksa dengan sepupu dua kali dari pihak ayah. Walaupun mereka masih sepupu dua kali, namun kalau dilihat dari tingkatan stratifikasi masyarakat Bugis, derajat kebangsawanan Ika lebih rendah karena hanya nenek dari pihak ayah yang berasal dari keturunan bangsawan, sedangkan kakek bukan bangsawan. Hal itu secara otomatis menyebabkan derajat kebangsawanan turun bahkan bisa hilang sama sekali. Oleh sebab itu ketika pihak keluarga laki-laki melamar, orang tua Ika langsung menerima karena dia berpikir itulah kesempatan yang baik untuk berbaur dengan keluarganya yang mempunyai derajat dan kedudukan lebih tinggi. Ia menganggap, dengan pernikahan itu derajatnya juga bisa terangkat. Selain itu, ia juga memang tidak dapat menolak, di samping karena segan ia juga tidak berani karena keluarga dari pihak laki-laki itu salah satu pemegang kekuasaan di kampung itu. Jadi, orang tua Ika merasa bahwa dari segi keluarga derajat mereka lebih rendah dan dari segi status dalam masyarakat mereka rakyat biasa. Akhirnya, Ika dipaksa orang tua dan kerabatnya menikah. Dia tidak punya pilihan dan tidak diberi hak berkomentar apalagi menolak. Walaupun sejak awal Ika tidak menyetujui pernikahan itu, namun tetap dipaksakan menjalani rumah tangga selama tiga bulan sebelum ia mengakhiri hidup dengan minum racun. Hidup tidak memberinya pilihan, dia tidak rela menjalani rumah tangga namun juga tidak dapat menolak kehendak orang tua dan kerabat sehingga ia memilih bunuh diri. Kurang lebih demikianlah ungkapan Almarhumah sebelum mengakhiri hidupnya, yang diperoleh dari hasil wawancara dengan kerabat dekatnya. Mengapa mappasitaro ‘perjodohan’ masih dipertahankan pada bangsawan Bugis? Beberapa faktor menjadi jawaban pertanyaan ini. Pertama, pengaruh budaya patriarki dan bias jender pada sistem kekerabatan dan stratifikasi sosial masyarakat Bugis, masih sangat kuat membelenggu anak perempuan. Tidak mudah bagi mereka untuk menembus jalinan patriarki dalam keluarga apalagi dalam masyarakat yang masih feodal dan masih kuat memegang adat-istiadat. Kedua, masih kuatnya pengaruh nilai-nilai ajaran agama yang disalah tafsirkan pada pelaksanaan perkawinan. Seperti pemberlakuan hak ijbar atau otoritas orang tua dalam menentukan jodoh anak dilegitimasi dengan pemahaman tentang ketaatan anak terhadap orang tua dalam Islam. Pada hal menurut Fadhullah (2000) ketaatan yang dimaksud sebenarnya hanya terbatas pada masalah yang tidak bertentangan dengan kemaslahatan anak termasuk dalam hal perkawinan. Ketaatan yang berhubungan dengan masalah 'penjagaan' bukan berhubungan dengan masalah syariah (h. 157–158). Ketiga, pengaruh hukum perkawinan adat dan tidak tersentuhnya hukum bagi orang yang menerapkan perjodohan/kawin paksa terhadap anak perempuan. Antara Undang-undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan hukum perkawinan adat tidak memiliki batasan ruang lingkup yang jelas. Dengan demikian sulit ditemukan aturan hukum yang dapat menjaring para pelanggar ketentuan undang-undang perkawinan (seperti yang melanggar pasal 6). Pada pelaksanaan perkawinan masih lebih dominan pengaruh hukum perkawinan adat. Padahal dalam asas-asas perkawinan adat sangat jelas mencerminkan keberpihakan pada kepentingan orang tua dan kerabat yang justru merugikan anak perempuan. Keempat, tuntutan zaman menyebabkan terjadinya pergeseran nilai status. Untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam kehidupan sehari-hari, harus memiliki status capaian. Namun, dalam proses perkawinan status asal tetap dipermasalahkan dan dianggap penting terutama bagi bangsawan untuk menentukan siapa yang akan kawin dengan siapa. Hal itu berkaitan dengan status dan derajat sosial. Status asal masih merupakan suatu pola kehidupan yang dipatuhi dan menjadi kode etik 'tata krama' sebagai pembatas lingkup pergaulan, terutama di perdesaan. Sementara, di perkotaan pada umumnya masih ketat berlaku di lingkungan keluarga masing-masing. Dengan demikian, ada kecenderungan bangsawan untuk memaksakan kawin naik terhadap anak perempuan karena tidak rela melepaskan dan membiarkan status asalnya turun, namun di sisi lain mereka juga sangat membutuhkan status capaian. Penggabungan dua hal itu membuat kontrol terhadap pemilihan jodoh anak perempuan bangsawan lebih ketat dibanding kalangan lain, sehingga tradisi mappasitaro masih dipertahankan.
C. Mappasitaro, Bentuk Pemilihan Jodoh untuk Mewujudkan Perkawinan Ideal: Anak Perempuan Nakkelori To-matoa
Prinsip nakkelori to-matoa terutama bagi anak perempuan, masih mewarnai penentuan pemilihan jodoh ketika penelitian ini berlangsung. Seperti diungkap oleh orang tua dari seorang informan utama berikut ini: … ku' ana makkunrai' metoha tu heddimu tu direkko-rekko, apa idi' di olo mappekku meto ku mallakkaiki taue, tania to idi elo nakku meto najaji na makacoa mu taue, ku ana makkunrai diakkelori… (kalau anak perempuan memang harus patuh untuk diatur orang tua, kita dulu juga kan begitu, kalau kita menikah juga bukan kemauan kita, kemauan orang tua tapi tetap jadi dan kita tetap baikan, kalau anak perempuan memang harus atas kemauan kita sebagai orang tuanya … ) (Wawancara dengan Patimah, Bone, 16-08-2000).
Ungkapan itu menggambarkan adanya kecenderungan orang tua untuk mempertahankan nilai-nilai yang diterima dari orang tuanya dahulu dan berusaha menerapkan kembali apa yang telah dialami kepada anak tanpa mempertimbangkan keadaan zaman yang telah berubah. Pemaksaan kehendak seperti itu menyebabkan anak yang telah banyak mengalami perubahan baik dari segi pendidikan maupun dari segi pergaulan akan sangat dilematis menghadapi masalah seperti itu. Anak perempuan tidak akan berani menolak dijodohkan oleh orang tua dan kerabat karena otoritas orang tua seringkali diperkuat nilai-nilai ajaran agama yang disalahtafsirkan bahwa seorang anak dianggap berdosa bila menolak keinginan orang tua. Secara adat, anak yang berani menolak keinginan orang tua terutama dalam pemilihan jodoh akan dikucilkan baik dalam keluarga inti maupun dalam keluarga luas atau sanak famili lainnya. Sehingga, seorang anak perempuan hanya mampu pasrah dan bersikap pasif menjalani apa yang telah ditentukan orang tua dan kerabatnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari dua belas informan perempuan hanya empat di antaranya yang diberitahu, itu pun hanya sekedar pemberitahuan bahwa akan segera dilangsungkan pernikahan. Penolakan anak tidak akan menggoyahkan keputusan orang tua. Dalam arti bahwa pemberitahuan itu bukan untuk dimintai pertimbangan, melainkan untuk sekedar diketahui saja. Informan lain tidak diberi tahu sama sekali, pada umumnya, mereka mengetahui hanya melalui berita dari mulut ke mulut dalam keluarga. Seperti yang diceritakan seorang informan bahwa ia tidak diberitahukan langsung dari orang tua, berita pernikahan itu hanya didengar dari cerita kakak seperti diungkap berikut ini: … Bapak tidak pernah ngomong sama saya … sudah dilamar dan sudah diterima baru saya tahu … begitu melamar langsung diterima karena amanatnya kakek … makanya tanpa persetujuan saya, bapak langsung terima … pas habis wisuda saya dipanggil kakak perempuan saya pulang karena dengar cerita orang tua sehingga berpikir kasihan Anggun mau dinikahkan sementara dia belum tahu … saya bilang kenapa saya tidak diberitahu, kakak bilang "kata bapak tidak usah diberitahu karena bagaimanapun juga harus jadi" … sebenarnya Ibu mau beritahu saya, tapi bapak bilang tidak usah karena saya tahu betul itu anak sabar orangnya, penurut, sudah yakin akan jadi dan sudah pastimi juga diterima, sudah ada pembicaraan kedua belah pihak… (Wawancara dengan Anggun, Bone, 15-08-2000).
Ungkapan informan di atas juga menggambarkan bahwa kesarjanaan 'keilmuan' seorang anak perempuan atau telah mempunyai pengalaman hidup di zaman modern, bukan jaminan untuk diberi kebebasan menentukan pilihan pasangan hidup sendiri. Kalaupun ada yang mencari jodoh sendiri, keputusan diterima atau tidak tetap di tangan orang tua. Hal itu menunjukkan bahwa dalam masyarakat Bugis pilihan jodoh yang dianggap terbaik adalah masih tetap yang ditentukan atau yang dipilihkan orang tua dan kerabat. Pertimbangan dan hak pribadi seorang anak untuk mengatur masa depan yang akan dijalaninya, belum mampu menembus dominasi orang tua dan kerabat dalam tradisi pemilihan jodoh. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 4 informan berhasil menyelesaikan pendidikan S1, 1 informan sarjana muda, 1 informan sementara duduk di bangku kuliah semester enam ketika dinikahkan, 5 informan yang tamat SMA, dan hanya 3 informan yang baru tamat SD, itu pun karena mereka memang dikawinkan dalam usia muda yakni satu tahun setelah tamat SD. Hal itu memberi gambaran bahwa bagi anak perempuan, pendidikan yang tinggi dengan yang rendah, atau umur yang lebih tua dengan yang muda, hidup di kota atau di desa, sama tidak berdayanya dalam menghadapi dominasi orang tua dalam tradisi pemilihan jodoh. Rasa kecewa seorang anak perempuan yang merasa dirinya telah dewasa dan berpendidikan, namun tetap tidak dilibatkan dalam proses perjodohan sampai pernikahan berlangsung, terungkap sebagai berikut: … pas baru-baru wisuda, lagi senang-senangnya melamar pekerjaan di Bank langsung ada berita … saya kecewa, kecewa sekali sama orang tua, saya kan berpendidikan tidak mungkin memutuskan kaya anak SD, maksudnya kita sudah dewasa toh, saya maunya dipanggil baik-baik, kita duduk bertemu baru tanya bilang ada begini bagaimana pendapatmu, itu tidak, bapak langsung vonis jadi … (Wawancara dengan Anggun, Bone, 15 Agustus 2000).
Berbagai kasus yang telah dipaparkan tersebut memberi gambaran bahwa anak perempuan adalah pihak yang rentan dalam berbagai bentuk kekerasan baik psikis maupun fisik dan ketersubordinasian. Mereka dikontrol untuk dijadikan alat pengukuhan tali kekerabatan, diperlakukan secara tidak adil dari dan dengan saudara laki-lakinya. Hal seperti itu dianggap Wahyuni (1997) sebagai penjabaran kekuasaan patriarki yang membelenggu dan memposisikan perempuan hanya sekedar pelengkap yang tidak punya banyak pilihan seperti di zaman Kartini (h. 15). Mereka adalah Kartini-kartini yang mengalami diskriminasi sistemik di zaman modern, tak lebih dari seorang anak perempuan yang menuai sebuah pilihan paksa di bawah kontrol patriarki. Wujud dari kontrol budaya patriarki dalam keluarga adalah pola sosialisasi yang bias jender. Pola sosialisasi seperti itu akan sangat berpengaruh pada kehidupan anak selanjutnya. Proses sosialisasi yang telah ditanamkan sejak kecil membentuk dua pribadi yang berbeda antara anak laki-laki dan perempuan. Kasus itu menggambarkan hasil sosialisasi yang bias jender, mewujudkan ketidakberdayaan anak perempuan menghindarkan diri dari pelabelan yang menganggap anak perempuan lemah lembut, selalu patuh, tidak boleh melawan kehendak orang tua, dan mudah diatur. Kondisi itu membuat anak perempuan tidak berdaya menghindar dari kontrol orang tua yang mengatur sesuai dengan kepentingan orang tua atau keluarga, bahkan cenderung mengabaikan kepentingan anak. Prinsip nakkelori to-matoa untuk anak perempuan, sedangkan untuk anak laki-laki, masih diberi kelonggaran untuk menentukan pilihan, menunjukkan pengaruh budaya patriarki dalam masyarakat Bugis dalam hal perkawinan. Hal itu sangat berkaitan dengan proses sosialisasi sejak kecil. Anak perempuan hanya dipersiapkan menunggu dan menerima lamaran dalam artian dipilih, sedangkan anak laki-laki justru dipersiapkan untuk mencari, memilih, dan melamar. Hal itu tergambar pada ungkapan orang tua dari seorang informan utama berikut ini: Sisala memeng bae tu 'ndi ku uruanei tau e nakkelori iga-iga nafuji, elona toppaha' jelloki, ku-makkunrai masiri memenni mappekkuro, mattajemi bawang de nahendding alena manggerai, jajiki idi to-matoae matoroki afa heddimu ha direkko-rekko… (itu memang beda dik' kalau kita sebagai laki-laki, bisa menunjuk siapa yang disuka, dia sendiri yang harus pilih, kalau kita perempuan kan pasti malu seperti itu, hanya bisa menunggu, dia tidak boleh menawarkan diri, jadi harus kita sebagai orang tua yang atur sebab anak perempuan kan masih bisa ditundukkan) (Wawancara dengan Patimah, 16-08-2000).
Perbedaan peran dan pribadi yang diharapkan dari anak laki-laki dan perempuan, diperoleh dari hasil sosialisasi nilai-nilai budaya yang diterapkan dengan pola sosialisasi yang berbeda berdasarkan jenis kelamin. Hal itu tergambar dari ungkapan seorang informan bahwa: "Saya bukannya tidak punya teman tapi maklum pergaulan saya sangat dibatasi, saudara laki-laki banyak…saya diawasi terus, apa lagi bapak melarang banyak keluar rumah cukup bantu mama saja di rumah…beda dengan saudara laki-laki, nginap di mama-mana pun boleh" (Wawancara dengan Gita, Makassar, 20-07-2000). Untuk mewujudkan harapan yang berbeda itu, anak perempuan harus dikontrol dan dijaga lebih ketat oleh to-masirinya sehingga menggunakan pola otoriter, sedangkan anak laki-laki cenderung diberi kebebasan mengembangkan diri agar dapat menunjang pelaksanaan peranannya sebagai pakkatuo, sehingga pola yang digunakan lebih permisif atau demokratis. Beauvoir (1948) dalam buku The Second Sex yang dikutip Aryani (1999) mengatakan hal yang sama. Ia melihat bahwa kepasifan seorang anak perempuan tidak terjadi begitu saja, tapi karena dalam perkembangan seorang anak perempuan ia telah disosialisasikan sejak kecil untuk 'menerima', 'menunggu', dan 'bergantung' bahwa akan ada seorang laki-laki yang akan menyelamatkan hidupnya dan melindunginya seperti dalam cerita, wanita adalah Cinderella, Sleeping Beauty, Snow White, ia adalah pihak yang menerima dan pasrah (h. 67). Sosialisasi seperti itu diarahkan untuk mengontrol perjodohan dan perkawinan anak perempuan dengan mudah. Perkawinan bangsawan Bugis menganut prinsip endogami kerabat dan derajat dengan pertimbangan kesetaraan baik dalam hal status asal maupun status capaian seperti telah digambarkan sebagai faktor-faktor yang mendorong dilakukannya mappasitaro. Penggabungan kedua status itu lebih disebabkan karena bangsawan Bugis dalam hal ini sebagai pemegang status asal tidak memungkinkan untuk survive hanya dengan mempertahankan status itu, tuntutan zaman membutuhkan status capaian untuk memenuhi kebutuhan hidup. Mencari dan memiliki kedua status (status asal dan status capaian) untuk menempati stratifikasi setinggi apapun tidak salah. Tetapi mengapa harus anak perempuan yang menjadi korban? Tidak adakah jalan lain yang lebih adil? Kesetaraan dalam pemberdayaan kedua anak yang berbeda jenis kelamin dari segi pendidikan untuk mendapatkan pekerjaan, kehidupan yang layak, dan status sosial lainnya dapat menjadi salah satu solusi. Mengapa derajat anak hanya dilihat dari garis ayah? Mengapa kedua jenis kelamin tidak diberi kesempatan yang sama untuk mengembangkan kemampuan, agar perempuan juga dapat memiliki status dan menempati stratifikasi yang tinggi, agar derajat anak juga dilihat dari garis ibu. Mungkin masih banyak solusi lain yang lebih baik dari pada mengorbangkan anak, tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali kesengsaraan, penderitaan, penyesalan seumur hidup perempuan. Apakah karena ia perempuan? Meskipun perempuan, tapi ia juga manusia, anak ibu dan ayah, sama seperti anak laki-laki.
D. Sikap dan Pandangan Anak Perempuan Bangsawan terhadap Budaya Mapasitaro
Berbicara tentang perkawinan dari hasil mappasitaro, ibaratkan membicarakan sebuah perjudian nasib, kalau lagi mujur bisa untung tapi kalau tidak, bisa rugi besar. Pada umumnya anak perempuan yang menjadi subjek penelitian ini menyatakan budaya itu tidak cocok lagi untuk diterapakan saat ini. Bahkan seorang informan secara tegas mengatakan "Sampai kapanpun saya tidak akan pernah setuju dengan yang namanya mappasitaro". Alasannya, karena yang akan menjalani rumah tangga dari hasil perjodohan itu adalah anak. Kalau tidak cocok bukan orang yang menjodohkan itu yang menanggung risikonya, tapi anak itu sendiri yang merasakan pahitnya. Hanya dua informan yang menyatakan kalau mappasitaro masih bisa dilakukan saat ini tetapi harus dikondisikan dengan keadaan sekarang. Dalam artian anak dipertemukan dulu, diberi kesempatan untuk saling mengenal (bersosialisasi), dan yang menentukan lanjut tidaknya kepernikahan adalah kesepakatan kedua anak itu. Kalau anak memutuskan tidak bisa dilanjutkan, orang tua tidak boleh memaksakan kehendak karena akan buruk akibatnya. Dapat dimaklumi kalau pada umumnya informan tidak menyetujui budaya mappasitaro untuk diterapkan saat ini dan menganggap bahwa pada zaman yang telah berubah ini sudah bukan zamannya lagi untuk dijodohkan secara paksa. Karena yang mereka pahami dan rasakan dari budaya itu adalah sesuatu yang selalu identik dengan pemaksaan, yang diikuti dengan dampak psikis ataupun kekerasan fisik. Maka, wajar bila mappasitaro bagi anak perempuan dianggap sebagai momok kehidupan. Sekarang ini seharusnya semua orang sudah memiliki hak, minimal berhak atas dirinya sendiri. Termasuk hak anak perempuan menentukan dengan siapa dan langkah apa yang akan dilakukan untuk menjalani sebuah berumah tangga. Terdapat banyak faktor yang harus menjadi pertimbangan dalam menentukan pasangan hidup, tapi yang paling utama adalah kecocokan karakter. Rumah tangga yang tidak dilandasi kecocokan, rasa saling suka, dan keikhlasan bagi yang menjalaninya, akan menjadi rumah tangga yang sangat rawan masalah. Dapat berakibat perceraian, pertengkaran, perselingkuhan, bunuh diri, dan masih banyak bentuk kekerasan psikis maupun fisik lainnya seperti yang terjadi pada kasus-kasus yang dibahas dalam penelitian ini.