15 April 2008

Fieldwork Program (FASID Japan)

Summer 2003-Gowa Regency, South Sulawesi, Indonesia.
Ini lagi foto bareng, menjelang perpisahan dengan rekan-rekan dari berbagai negara; Indonesia, Amerika, Inggris, Jepang, Filipina, Hongkong, dan Singapura. Foto ini diabadikan sehari sebelum keberangkatan mereka ke negara masing-masing. Sebelumnya kami menjalani fieldwork program selama dua minggu di Dusun Halahalayya, Desa Kanreapia, Kabupaten Gowa.

Ini sungguh pengalaman yang luar biasa. Kalau dari sisi ‘stay’ dengan masyarakatnya sih, itu sudah hal biasa buat kami, tapi bahwa itu dilakukan bersama teman-teman dari berbagai budaya, kebiasaan, pengalaman, karakter, dan berbagai bangsa itu hal unik dan ‘amazing’.

Fieldwork is an endeavor to travel an unknown path. To reach the final destination, the fieldworker collects many pieces of information and investigates what they mean. The compass is the fieldworker's sensibility and reason. There is no shortcut or fast track. Another aspect of fieldwork is to immerse oneself in relationships with others.

People in front of you are not simple objectives of research. The longer you stay in a location, the closer you become to them. "How do I relate to my host family, their neighbors, village officials or extension workers?" "How do I live in these relationships?" Fieldwork gives us many chances to think about these fundamental questions. Selebihnya, Wassalam.

PERLU EVALUASI KURIKULUM DAN KULTUR KAMPUS

PERLU EVALUASI KURIKULUM DAN KULTUR KAMPUS

Makassar, 9/4 (ANTARA) - Banyaknya tindak kekerasan yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi di Kawasan Timur Indonesia (KTI) belakangan ini harus mendorong kalangan akademisi dan pihak-pihak terkait untuk mengevaluasi kurikulum dan kultur kampus yang tidak lagi mendukung terciptanya wadah pendidikan yang kondusif.

"Saya sangat prihatin dengan merebaknya tindakan kekerasan yang dilakukan mahasiswa yang kelihatannya sudah menjadi bagian yang sistemik terkait dengan persoalan kultural dan psikologis," kata Busman Dahlan Saleh, MSi, sosiolog yang juga alumni Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Rabu.

Tindak kekerasan di lingkup perguruan tinggi yang sudah mengarah ke premanisme, menurut Busman, disebabkan kurikulum pendidikan yang ada sudah tidak mampu menggiring mahasiswa untuk berpikir logis. "Selain itu, dosen-dosen selaku pengajar dan pendidik tidak cukup mendukung mahasiswa untuk berpikir logis," ujarnya.

Selain itu, kata alumni program master sosiologi Universitas Indonesia (UI) ini, perguruan tinggi lebih cenderung mendorong kecerdasan intelektual mahasiswa tanpa diimbangi dengan kecerdasan emosional. Sementara dari sisi kultural, diakui bahwa warga yang lahir di KTI memiliki kecenderungan tempramental. Namun hal ini jangan dijadikan stigma untuk melegitimasi aksi-aksi demonstrasi atau tawuran yang bersifat destruktif, ujarnya.

Menyinggung sinyalemen bahwa aksi mahasiswa di KTI yang destruktif itu terkait dengan unsur politis, ia mengatakan, hal itu bisa saja terkait mengingat adanya momen-momen yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan politik Pilres 2009 dimana salah satu calon yang santer digadang-gadang adalah Wakil Presiden, HM Jusuf Kalla yang merupakan putra daerah dari KTI.

"Mungkin ada yang memanfaat itu untuk mediskreditkan calon dari KTI atau bisa juga terkait dengan momen Pilkada yang ada di daerah masing-masing," katanya.
Untuk bisa keluar dari lingkaran persoalan itu, Busman mengatakan bahwa semua pihak terkait dengan pendidikan tinggi harus mengedepankan pendidikan etika yang diimplementasikan ke dalam kurikulum dan kultur kampus itu sendiri.

Hal senada dikemukakan DR Alwi Rahman, pengamat sosial dari Universitas Hasanuddin, Makassar. Menurut dia, kultur dan pendidikan etika di kampus yang tidak jalan selama ini sehinga tidak mengherankan jika mahasiswa lebih cenderung mengejar kecerdasan intelektual untuk memenuhi target kurikulum.

"Kultur yang terbangun di kampus tidak cukup menunjang dan mengarahkan mahasiswa untuk melahirkan kajian-kajian logika," katanya sembari mengimbuhkan, yang ada adalah kesan pendidikan sebagai komoditas komersial, bahkan tergantung pada komoditas politik tertentu sebagai implikasi dari kebijakan pemerintah.
Karena itu, sudah saatnya kurikulum dan kultur perguruan tinggi dievaluasi dan dibenahi jika tidak ingin kondisi kampus menjadi lebih buruk lagi.

09 April 2008

Mahasiswa Sering Tawuran, Kurikulum Kambing Hitam

Rabu, 09-04-2008 18:00:02
Mahasiswa Sering Tawuran, Kurikulum Kambing Hitam
Laporan: Andi Syahrir, tribuntimurcom@yahoo.com

Makassar, Tribun - Aksi tindak kekerasan yang kerap kali dilakukan para mahasiswa mendorong kalangan akademisi untuk mengevaluasi kurikulum dan kultur kampus.
Dua variabel tersebut dinilai tak lagi mendukung terciptanya wadah pendidikan yang kondusif.

"Saya sangat prihatin dengan merebaknya tindakan kekerasan yang dilakukan mahasiswa yang kelihatannya sudah menjadi bagian yang sistemik terkait dengan persoalan kultural dan psikologis," kata Busman Dahlan Saleh, MSi, sosiolog yang juga alumni Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Rabu (9/4).

Menurut Busman, seperti dikutip Antara, tindak kekerasan di lingkup perguruan tinggi yang sudah mengarah ke premanisme. Sebabnya, kurikulum yang ada sudah tidak mampu menggiring mahasiswa untuk berpikir logis. "Selain itu, dosen-dosen selaku pengajar dan pendidik tidak cukup mendukung mahasiswa untuk berpikir logis," ujarnya.

Selain itu, kata alumni program master sosiologi Universitas Indonesia (UI) ini, perguruan tinggi lebih cenderung mendorong kecerdasan intelektual mahasiswa tanpa diimbangi dengan kecerdasan emosional.

Sementara dari sisi kultural, diakui bahwa warga yang lahir di KTI memiliki kecenderungan tempramental. Namun hal ini jangan dijadikan stigma untuk melegitimasi aksi-aksi demonstrasi atau tawuran yang bersifat destruktif, ujarnya.(*)

http://www.tribun-timur.com/view.php?id=72218&jenis=Makassar